Entah kenapa, setiap kali saya mengunjungi pulau Dewata, selalu ada yang membisikkan ke saya, tidaklah lengkap kalau belum mampir ke Joger. Entah kenapa, ketika saya melewati kota Bogor, nggak sah juga, jika tidak membungkus roti unyil Venus. Dan entah kenapa, dari pegawai sampai menteri, jika berkunjung ke Batam, seolah mereka ‘wajib’ mencicipi sup ikan Yong Kee. Masih banyak produk-produk lain, seperti, brownis Amanda dan molen Kartikasari dari Bandung, bakpia Patok di Jogja. Mungkin ini semacam ritual, jika tidak melakukannya, serasa kurang pas.
Coba bayangkan jika produk atau jasa Anda dijadikan ritual bagi orang lain yang melewati kota Anda. Hitung saja, berapa banyak keuntungan yang akan Anda raih. Tentu saja tak semudah itu, saat pertama kali saya makan di sup ikan Yong Kee, belasan tahun yang lalu, mereka hanya berdiri di sebuah kios kecil, 1 lantai berukuran kurang lebih 5 x 6 meter saja. Untuk makan di weekend, harus mengantri dan makan di trotoar, tanpa air-con, tanpa pelayan. Siapa sangka saat ini sup ikan Yong Kee memiliki bangunan yang besar-bertingkat dan menjadi mesin pencetak uang. Kalau tidak percaya, tongkrongin saja di salah satu cabangnya, hitung keluar masuknya orang per-jamnya.
Apa Penyebabnya?
Bagaimana sebuah merek (atau produk) bisa menarik fanatisme? Apakah karena rasanya? Saya paling tidak percaya jika orang meng-klaim “paling enak dan tidak ada yang bisa membuat lebih enak”. Wong membuat pesawat terbang aja bisa, masakbuat bumbu pecel yang ‘serupa’ tidak bisa?! Perhatikan… kebanyakan merek-merek ritual, tidak ‘dikerek’ dengan promosi yang sensasional. Namun lebih dikarenakan efek dari mulut ke mulut alias referensi. Efeknya tidak instan seperti kebanyakan marketer saat ini menginginkan. Karena yang instan melejit, biasanya juga instan umurnya. Kenapa bisa begitu? Ya itulah hukum alam.
Perhatikan merek-merek yang dianggap ritual, apa ciri khasnya? Kebanyakan si pendiri terjun langsung memberikan spirit di setiap produknya. Pernahkah Anda melihat suatu usaha serasa hilang rohnya, saat si pemilik tidak ada disitu? Padahal bumbunya standar lho. Trus, apakah kita harus nongkrongin warung kita sampai kita mati? Dalam buku Pour your heart into it, Howard Schultz mengungkapkan bagaimana STARBUCKS dibangun dari secangkir demi secangkir kopi yang disajikan dengan hati. Artinya, ’roh’ dalam bisnis itu harus diturunkan turun temurun ke semua karyawan, sebelum si pendiri meninggalkannya. Jikalau para karyawan saja tidak memiliki rasa bangga dan alasan (selain uang), kenapa mereka bekerja disana, maka roh itu belum nempel. Setiap karyawan bahkan harus menjadi pengguna (jika memungkinkan) dan pengagum produk yang dijual. Dimanapun dan kapanpun mereka berada, hati dan mulut mereka membicarakan kelebihan produknya.
Semuanya butuh proses, seperti menanam sawit, memakan waktu tahunan untuk dapat memetik hasilnya. Kebanyakan pengusaha sekarang tidak tahan menunggu prosesnya. Belum sempat roh itu menular dan merasuk ke tubuh perusahaan, pengusaha baru terlalu terburu-buru mencaplok bisnis yang lain.
”Semua bisnis bagus, asalkan ditekuni dengan serius dan di manage dengan benar”
Ilustrasi: pratanti
Jaya Setiabudi
Latest posts by Jaya Setiabudi (see all)
- Menjual Tanpa Membual - 10/05/2016
- Strategi Evolusi UKM Goes Online - 09/05/2016
- Makna Sukses Jaya Setiabudi - 06/07/2015