Merek Ritual

ritual

 

Entah kenapa, setiap kali saya mengunjungi pulau Dewata, selalu ada yang membisikkan ke saya, tidaklah lengkap kalau belum mampir ke Joger. Entah kenapa, ketika saya melewati kota Bogor, nggak sah juga, jika tidak membungkus roti unyil Venus. Dan entah kenapa, dari pegawai sampai menteri, jika berkunjung ke Batam, seolah mereka ‘wajib’ mencicipi sup ikan Yong Kee. Masih banyak produk-produk lain, seperti, brownis Amanda dan molen Kartikasari dari Bandung,  bakpia Patok di Jogja. Mungkin ini semacam ritual, jika tidak melakukannya, serasa kurang pas.

Coba bayangkan jika produk atau jasa Anda dijadikan ritual bagi orang lain yang melewati kota Anda. Hitung saja, berapa banyak keuntungan yang akan Anda raih. Tentu saja tak semudah itu, saat pertama kali saya makan di sup ikan Yong Kee, belasan tahun yang lalu, mereka hanya berdiri di sebuah kios kecil, 1 lantai berukuran kurang lebih 5 x 6 meter saja. Untuk makan di weekend, harus mengantri dan makan di trotoar, tanpa air-con, tanpa pelayan. Siapa sangka saat ini sup ikan Yong Kee memiliki bangunan yang besar-bertingkat dan menjadi mesin pencetak uang. Kalau tidak percaya, tongkrongin saja di salah satu cabangnya, hitung keluar masuknya orang per-jamnya.

Apa Penyebabnya? Yuk Ritualan

“Membajak” Merek

Membajak

 

Akhir-akhir ini saya sering sekali nongkrong di Twitland. Selain bisa berbagi ke lebih banyak orang, juga lebih efektif karena one to many, bahkan many to many. Bagi saya, setiap problem dari mereka, merupakan latihan bagi otot otak saya. Kali ini ada sebuah soal dari beberapa tweeps yang pernah menjadi contoh kasus alumni Entrepreneur Camp (ECamp) kami, sebut saja Juli namanya. Beginilah percakapan kami…

Continue reading →