Seorang kawan datang kepada saya bercerita tentang bisnisnya. Ternyata dia sudah tidak lagi satu visi dengan partner kerjanya. Padahal boleh dibilang bisnisnya tergolong maju, brand nya juga sudah cukup dikenal khalayak ramai. Eh ternyata, tidak hanya satu orang yang datang kepada saya bercerita tentang persoalan serupa.
Jangankan yang berbisnis dengan teman dekat, saudara kandung pun bisa bersengketa.
Ketika menjalankan bisnis bareng dan ternyata tidak cocok. Yang jadi soal, bisnisnya udah mulai bagus, brand sudah “Ngetop”, aset perusahaan sudah banyak, gengsi sudah meningkat (eh, gak ding).
Sebut saja beberapa bisnis yang pecah kongsi seperti bisnis steak di Jakarta yang mulai kondang dikenal 3 tahun terakhir. Atau keripik asal Bandung yang beken karena level pedasnya.
Pertanyaan saya, siapa brand owner-nya? Siapa yang memiliki sertifikat merek nya?
Soal pendaftaran merek ini, malah ada pengusaha soto yang sudah mendaftarkan merek yang sama, menarik untuk dikaji siapa yang akhirnya menjadi pemilik merk tersebut. Asas pendaftaran merek sih tetap First come first serve, yang daftar duluan yang berhak. Tapi kalau hasilnya lain, wih, tunggu aja deh, gak berani komentar.
Memang mengenai branding itu gak sekedar masalah biaya pendaftaran merek, tapi effort yang sudah dikeluarkan untuk awareness kepada pelanggan, biaya yang keluar untuk promosi serta keringat dan air mata yang sudah bercucuran (alamak).
Lalu, kalau sudah tidak cocok berbisnis bareng, apakah harus ribut?
Sekalipun sudah tidak akur dengan partner bisnis Anda, ada baiknya Anda tetap berteman. Siapa tahu perusahaan Anda bisa bekerja sama lagi dengan bentuk yang berbeda. Tidak melulu penyelesaian dalam berbisnis itu diselesaikan lewat pengadilan. Apalagi, jalur ini cukup mempertaruhkan kredibilitas pebisnis.
Ada 3 opsi yang dapat dipilih untuk menyelesaikan kerjasama dengan partner. Opsi-opsi ini merupakan cara yang lebih peacefull tapi tetap impactfull:
1. Menjual saham kepada Pihak lain
Mekanisme ini hanya berlaku jika bisnis Anda dijalankan dalam suatu Perseroan Terbatas (PT). Jika tidak, maka mekanisme ini tidak dapat ditempuh. Setiap PT minimal harus ada 2 orang pemegang saham. Apabila ada pemegang saham yang hendak keluar, maka sahamnya terlebih dahulu ditawarkan kepada pemegang saham yang ada (blokering).
Jika hanya terdapat 2 orang pemegang saham dalam PT tersebut, maka dalam jangka waktu 6 bulan harus ada 1 pemegang saham lainnya yang masuk ke dalam PT. Kenapa sih harus 2 orang pemegang saham? Karena PT itu prinsip dasarnya adalah asosiasi modal jadi minimal harus 2 orang.
Berapa nilai sahamnya? Nilai saham suatu perusahaan ditentukan dari nilai aset baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Aset yang tidak berwujud itu misalnya merk dagang, domain website dll.
Lalu bagaimana menghitungnya? Anda bisa menggunakan jasa appraisal untuk menghitung nilai dari perusahaan anda. Nantinya dari sini bisa digunakan untuk menghitung nilai saham per lembarnya. Barulah dikalikan berapa nilai lembar saham yang akan dijual.
2. Keluar dari management perusahaan, namun tetap sebagai pemegang saham.
Sama dengan poin di atas, ini hanya berlaku dalam kerangka PT. Dalam banyak UKM, pemegang saham juga merangkap sebagai direksi atau komisaris perusahaan. Saat tidak lagi bisa bekerjasama dengan partner bisnis anda, bisa saja anda mundur dari management namun tetap sebagai pemegang saham, sehingga anda masih tetap berhak mendapatkan deviden. Bagaimana kalau tidak berbentuk PT? simak artikel soal pemutusan bisnis secara sepihak.
Bersambung..
Latest posts by Bimo Prasetio (see all)
- Hindari Konflik Melalui Perjanjian Antar Pemegang Saham - 22/11/2013
- Pecah Kongsi Gak Perlu Pakai Ribut (2) - 19/11/2013
- Pecah Kongsi Gak Perlu Pakai Ribut (1) - 18/11/2013