Seorang kawan datang kepada saya bercerita tentang bisnisnya. Ternyata dia sudah tidak lagi satu visi dengan partner kerjanya. Padahal boleh dibilang bisnisnya tergolong maju, brand nya juga sudah cukup dikenal khalayak ramai. Eh ternyata, tidak hanya satu orang yang datang kepada saya bercerita tentang persoalan serupa.
Jangankan yang berbisnis dengan teman dekat, saudara kandung pun bisa bersengketa.
Ketika menjalankan bisnis bareng dan ternyata tidak cocok. Yang jadi soal, bisnisnya udah mulai bagus, brand sudah “Ngetop”, aset perusahaan sudah banyak, gengsi sudah meningkat (eh, gak ding).
Sebut saja beberapa bisnis yang pecah kongsi seperti bisnis steak di Jakarta yang mulai kondang dikenal 3 tahun terakhir. Atau keripik asal Bandung yang beken karena level pedasnya.
Pertanyaan saya, siapa brand owner-nya? Siapa yang memiliki sertifikat merek nya?
Soal pendaftaran merek ini, malah ada pengusaha soto yang sudah mendaftarkan merek yang sama, menarik untuk dikaji siapa yang akhirnya menjadi pemilik merk tersebut. Asas pendaftaran merek sih tetap First come first serve, yang daftar duluan yang berhak. Tapi kalau hasilnya lain, wih, tunggu aja deh, gak berani komentar.
Memang mengenai branding itu gak sekedar masalah biaya pendaftaran merek, tapi effort yang sudah dikeluarkan untuk awareness kepada pelanggan, biaya yang keluar untuk promosi serta keringat dan air mata yang sudah bercucuran (alamak). Continue reading →